Thursday, December 25, 2008

makalah kristian

Makalah-Gerakan Salafi Modern di Indonesia

GERAKAN SALAFI MODERN DI INDONESIA;
Sebuah Upaya Membedah Akar Pertumbuhan
dan Ide-ide Substansialnya





Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Gerakan Islam Modern










Oleh:
Muh. Ikhsan
7105090722
Dosen:
DR. Muhammad Lutfi Zuhdi, MA
UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM
KEKHUSUSAN KAJIAN ISLAM
JAKARTA
2006

GERAKAN SALAFI MODERN DI INDONESIA;
Sebuah Upaya Membedah Akar Pertumbuhan
dan Ide-ide Substansialnya
Muhammad Ikhsan
Pengantar
Indonesia nampaknya memang akan selalu menjadi lahan subur lahir dan tumbuhnya berbagai gerakan Islam dengan berbagai ragamnya; baik yang “hanya sekedar” perpanjangan tangan dari gerakan yang sebelumnya telah ada, ataupun yang dapat dikategorikan sebagai gerakan yang benar-benar baru. Dan sejarah pergerakan Islam Indonesia benar-benar telah menjadi saksi mata terhadap kenyataan itu selama beberapa kurun waktu lamanya.
Dan kini, di era modern ini, mata sejarah semakin “dimanjakan” oleh kenyataan itu dengan tumbuhnya aneka gerakan Islam modern yang masing-masing menyimpan keunikannya tersendiri. Jagat pergerakan Islam Indonesia modern tidak hanya diramaikan oleh organisasi semacam Muhammadiyah dan NU, tapi disana ada pemain-pemain baru yang juga secara perlahan –namun pasti- mulai menanamkan pengaruhnya. Mulai dari yang mengandalkan perjuangan politis hingga yang lebih memilih jalur gerakan sosial-kemasyarakatan.
Salah satu gerakan Islam tersebut adalah yang menyebut diri mereka sebagai Salafi atau Salafiyah. Salah satu peristiwa fenomenal gerakan ini yang sempat “menghebohkan” adalah kelahiran Laskar Jihad yang dimotori oleh Ja’far Umar Thalib pada 6 April 2000 pasca meletusnya konflik bernuansa SARA di Ambon dan Poso.[1]
Tulisan singkat ini akan mencoba mengulas sejarah dan ide-ide penting gerakan ini, sekaligus memberikan beberapa catatan kritis yang diharapkan dapat bermanfaat tidak hanya bagi gerakan ini namun juga bagi semua gerakan Islam di Tanah Air.
Apa Itu Salafi?
Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada al-Salaf. Kata al-Salaf sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita.[2] Adapun makna al-Salaf secara terminologis yang dimaksud di sini adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah saw dalam haditsnya:
“Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian yang mengikuti mereka...” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits ini, maka yang dimaksud dengan al-Salaf adalah para sahabat Nabi saw, kemudian tabi’in, lalu atba’ al-tabi’in. Karena itu, ketiga kurun ini kemudian dikenal juga dengan sebutan al-Qurun al-Mufadhdhalah (kurun-kurun yang mendapatkan keutamaan).[3] Sebagian ulama kemudian menambahkan label al-Shalih (menjadi al-Salaf al-Shalih) untuk memberikan karakter pembeda dengan pendahulu kita yang lain.[4] Sehingga seorang salafi berarti seorang yang mengaku mengikuti jalan para sahabat Nabi saw, tabi’in dan atba’ al-tabi’in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka.[5]
Sampai di sini nampak jelas bahwa sebenarnya tidak masalah yang berarti dengan paham Salafiyah ini, karena pada dasarnya setiap muslim akan mengakui legalitas kedudukan para sahabat Nabi saw dan dua generasi terbaik umat Islam sesudahnya itu; tabi’in dan atba’ al-tabi’in. Atau dengan kata lain seorang muslim manapun sebenarnya sedikit-banyak memiliki kadar kesalafian dalam dirinya meskipun ia tidak pernah menggembar-gemborkan pengakuan bahwa ia seorang salafi. Sebagaimana juga pengakuan kesalafian seseorang juga tidak pernah dapat menjadi jaminan bahwa ia benar-benar mengikuti jejak para al-Salaf al-Shalih, dan –menurut penulis- ini sama persis dengan pengakuan kemusliman siapapun yang terkadang lebih sering berhenti pada taraf pengakuan belaka.
‘Ala kulli hal, penggunaan istilah Salafi ini secara khusus mengarah pada kelompok gerakan Islam tertentu setelah maraknya apa yang disebut “Kebangkitan Islam di Abad 15 Hijriyah”. Terutama yang berkembang di Tanah Air, mereka memiliki beberapa ide dan karakter yang khas yang kemudian membedakannya dengan gerakan pembaruan Islam lainnya.
Sejarah Kemunculan Salafi di Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan Salafi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Menurut Abu Abdirrahman al-Thalibi[6], ide pembaruan Ibn ‘Abd al-Wahhab diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa ulama asal Sumatera Barat pada awal abad ke-19. Inilah gerakan Salafiyah pertama di tanah air yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum Padri, yang salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini sendiri berlangsung dalam kurun waktu 1803 hingga sekitar 1832. Tapi, Ja’far Umar Thalib mengklaim –dalam salah satu tulisannya[7]- bahwa gerakan ini sebenarnya telah mulai muncul bibitnya pada masa Sultan Aceh Iskandar Muda (1603-1637).
Disamping itu, ide pembaruan ini secara relatif juga kemudian memberikan pengaruh pada gerakan-gerakan Islam modern yang lahir kemudian, seperti Muhammadiyah, PERSIS, dan Al-Irsyad. “Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah” serta pemberantasan takhayul, bid’ah dan khurafat kemudian menjadi semacam isu mendasar yang diusung oleh gerakan-gerakan ini. Meskipun satu hal yang patut dicatat bahwa nampaknya gerakan-gerakan ini tidak sepenuhnya mengambil apalagi menjalankan ide-ide yang dibawa oleh gerakan purifikasi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Apalagi dengan munculnya ide pembaruan lain yang datang belakangan, seperti ide liberalisasi Islam yang nyaris dapat dikatakan telah menempati posisinya di setiap gerakan tersebut.
Di tahun 80-an, -seiring dengan maraknya gerakan kembali kepada Islam di berbagai kampus di Tanah air- mungkin dapat dikatakan sebagai tonggak awal kemunculan gerakan Salafiyah modern di Indonesia. Adalah Ja’far Umar Thalib salah satu tokoh utama yang berperan dalam hal ini. Dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Saya Merindukan Ukhuwah Imaniyah Islamiyah”, ia menceritakan kisahnya mengenal paham ini dengan mengatakan:[8]
“Ketika saya belajar agama di Pakistan antara tahun 1986 s/d 1987, saya melihat betapa kaum muslimin di dunia ini tercerai berai dalam berbagai kelompok aliran pemahaman. Saya sedih dan sedih melihat kenyataan pahit ini. Ketika saya masuk ke medan jihad fi sabilillah di Afghanistan antara tahun tahun 1987 s/d 1989, saya melihat semangat perpecahan di kalangan kaum muslimin dengan mengunggulkan pimpinan masing-masing serta menjatuhkan tokoh-tokoh lain...
Di tahun-tahun jihad fi sabilillah itu saya mulai berkenalan dengan para pemuda dari Yaman dan Surian yang kemudian mereka memperkenalkan kepada saya pemahaman Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah. Saya mulai kenal dari mereka seorang tokoh dakwah Salafiyah bernama Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i...
Kepiluan di Afghanistan saya dapati tanda-tandanya semakin menggejala di Indonesia. Saya kembali ke Indonesia pada akhir tahun 1989, dan padajanuari 1990 saya mulai berdakwah. Perjuangan dakwah yang saya serukan adalah dakwah Salafiyah...”
Ja’far Thalib sendiri kemudian mengakui bahwa ada banyak yang berubah dari pemikirannya, termasuk diantaranya sikap dan kekagumannya pada Sayyid Quthub, salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin yang dahulu banyak ia lahap buku-bukunya. Perkenalannya dengan ide gerakan ini membalik kekaguman itu 180 derajat menjadi sikap kritis yang luar biasa –untuk tidak mengatakan sangat benci-.[9]
Di samping Ja’far Thalib, terdapat beberapa tokoh lain yang dapat dikatakan sebagai penggerak awal Gerakan Salafi Modern di Indonesia, seperti: Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Fais Asifuddin (Solo), dan Abu Nida’ (Yogyakarta). Nama-nama ini bahkan kemudian tergabung dalam dewan redaksi Majalah As-Sunnah –majalah Gerakan Salafi Modern pertama di Indonesia-, sebelum kemudian mereka berpecah beberapa tahun kemudian.
Adapun tokoh-tokoh luar Indonesia yang paling berpengaruh terhadap Gerakan Salafi Modern ini –di samping Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab tentu saja- antara lain adalah:
1. Ulama-ulama Saudi Arabia secara umum.
2. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albany di Yordania (w. 2001)
3. Syekh Rabi al-Madkhaly di Madinah
4. Syekh Muqbil al-Wadi’iy di Yaman (w. 2002).
Tentu ada tokoh-tokoh lain selain ketiganya, namun ketiga tokoh ini dapat dikatakan sebagai sumber inspirasi utama gerakan ini. Dan jika dikerucutkan lebih jauh, maka tokoh kedua dan ketiga secara lebih khusus banyak berperan dalam pembentukan karakter gerakan ini di Indonesia. Ide-ide yang berkembang di kalangan Salafi modern tidak jauh berputar dari arahan, ajaran dan fatwa kedua tokoh tersebut; Syekh Rabi’ al-Madkhaly dan Syekh Muqbil al-Wadi’iy. Kedua tokoh inilah yang kemudian memberikan pengaruh besar terhadap munculnya gerakan Salafi ekstrem, atau –meminjam istilah Abu Abdirrahman al-Thalibi- gerakan Salafi Yamani.[10]
Perbedaan pandangan antara pelaku gerakan Salafi modern setidaknya mulai mengerucut sejak terjadinya Perang Teluk yang melibatkan Amerika dan Irak yang dianggap telah melakukan invasi ke Kuwait. Secara khusus lagi ketika Saudi Arabia “mengundang” pasukan Amerika Serikat untuk membuka pangkalan militernya di sana. Saat itu, para ulama dan du’at di Saudi –secara umum- kemudian berbeda pandangan: antara yang pro[11] dengan kebijakan itu dan yang kontra.[12] Sampai sejauh ini sebenarnya tidak ada masalah, karena mereka umumnya masih menganggap itu sebagai masalah ijtihadiyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan tersebut. Namun berdasarkan informasi yang penulis dapatkan nampaknya ada pihak yang ingin mengail di air keruh dengan “membesar-besarkan” masalah ini. Secara khusus, beberapa sumber[13] menyebutkan bahwa pihak Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia saat itu–yang selama ini dikenal sebagai pejabat yang tidak terlalu suka dengan gerakan dakwah yang ada- mempunyai andil dalam hal ini. Upaya inti yang dilakukan kemudian adalah mendiskreditkan mereka yang kontra sebagai khawarij, quthbiy (penganut paham Sayyid Quthb), sururi (penganut paham Muhammad Surur ibn Zain al-‘Abidin), dan yang semacamnya.
Momentum inilah yang kemudian mempertegas keberadaan dua pemahaman dalam gerakan Salafi modern –yang untuk mempermudah pembahasan oleh Abu ‘Abdirrahman al-Thalibi disebut sebagai-: Salafi Yamani dan Salafi Haraki.[14] Dan sebagaimana fenomena gerakan lainnya, kedua pemahaman inipun terimpor masuk ke Indonesia dan memiliki pendukung.
Ide-ide Penting Gerakan Salafi
Pertanyaan paling mendasar yang muncul kemudian adalah apa yang menjadi ide penting atau karakter khas gerakan ini dibanding gerakan lainnya yang disebutkan sedikit-banyak terpengaruh dengan ide purifikasi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di Jazirah Arabia?
Setidaknya ada beberapa ide penting dan khas gerakan Salafi Modern dengan gerakan-gerakan tersebut, yaitu:
1. Hajr Mubtadi’ (Pengisoliran terhadap pelaku bid’ah)
Sebagai sebuah gerakan purifikasi Islam, isu bid’ah tentu menjadi hal yang mendapatkan perhatian gerakan ini secara khusus. Upaya-upaya yang mereka kerahkan salah satunya terpusat pada usaha keras untuk mengkritisi dan membersihkan ragam bid’ah yang selama ini diyakini dan diamalkan oleh berbagai lapisan masyarakat Islam. Dan sebagai sebuah upaya meminimalisir kebid’ahan, para ulama Ahl al-Sunnah menyepakati sebuah mekanisme yang dikenal dengan hajr al-mubtadi’ atau pengisoliran terhadap mubtadi’. [15] Dan tentu saja, semua gerakan salafi sepakat akan hal ini.
Akan tetapi, pada prakteknya di Indonesia, masing-masing faksi –salafi Yamani dan haraki- sangat berbeda. Dalam hal ini, salafi Yamani terkesan membabi buta dalam menerapkan mekanisme ini. Fenomena yang nyata akan hal ini mereka terapkan dengan cara melemparkan tahdzir (warning) terhadap person yang bahkan mengaku mendakwahkan gerakan salafi. Puncaknya adalah ketika mereka menerbitkan “daftar nama-nama ustadz yang direkomendasikan” dalam situs mereka www.salafy.or.id.[16] Dalam daftar ini dicantumkan 86 nama ustadz dari Aceh sampai Papua yang mereka anggap dapat dipercaya untuk dijadikan rujukan, dan ‘uniknya’ nama-nama itu didominasi oleh murid-murid Syekh Muqbil al-Wadi’i di Yaman.
Sementara Salafi Haraki cenderung melihat mekanisme hajr al-mubtadi’ ini sebagai sesuatu yang tidak mutlak dilakukan, sebab semuanya tergantung pada maslahat dan mafsadatnya. Menurut mereka, hajr al-mubtadi’ dilakukan tidak lebih untuk memberikan efek jera kepada sang pelaku bid’ah. Namun jika itu tidak bermanfaat, maka boleh jadi metode ta’lif al-qulub-lah yang berguna.[17]

2. Sikap terhadap politik (parlemen dan pemilu).
Hal lain yang menjadi ide utama gerakan ini adalah bahwa gerakan Salafi bukanlah gerakan politik dalam arti yang bersifat praktis. Bahkan mereka memandang keterlibatan dalam semua proses politik praktis seperti pemilihan umum sebagai sebuah bid’ah dan penyimpangan. Ide ini terutama dipegangi dan disebarkan dengan gencar oleh pendukung Salafi Yamani. Muhammad As-Sewed mislanya –yang saat itu masih menjabat sebagai ketua FKAWJ mengulas kerusakan-kerusakan pemilu sebagai berikut:
a. Pemilu adalah sebuah upaya menyekutukan Allah (syirik) karena menetapkan aturan berdasarkan suara terbanyak (rakyat), padahal yang berhak untuk itu hanya Allah.
b. Apa yang disepakati suara terbanyak itulah yang dianggap sah, meskipun bertentangan dengan agama atau aturan Allah dan Rasul-Nya.
c. Pemilu adalah tuduhan tidak langsung kepada islam bahwa ia tidak mampu menciptakan masyarakat yang adil sehingga membutuhkan sistem lain.
d. Partai-partai Islam tidak punya pilihan selain mengikuti aturan yang ada, meskipun aturan itu bertentangan dengan Islam.
e. Dalam pemilu terdapat prinsip jahannamiyah, yaitu menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan-tujuan politis, dan sangat sedikit yang selamat dari itu.
f. Pemilu berpotensi besar menanamkan fanatisme jahiliah terhadap partai-partai yang ada.[18]
Berbeda dengan Salafi Haraki yang cenderung menganggap masalah ini sebagai persoalan ijtihadiyah belaka. Dalam sebuah tulisan bertajuk al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah yang dimuat oleh situs islamtoday.com (salah satu situs yang dianggap sering menjadi rujukan mereka dikelola oleh DR. Salman ibn Fahd al-‘Audah) misalnya, dipaparkan bahwa sistem peralihan dan penyematan kekuasaan dalam Islam tidak memiliki sistem yang baku. Karena itu, tidak menutup mungkin untuk mengadopsi sistem pemilu yang ada di Barat setelah ‘memodifikasi’nya agar sesuai dengan prinsip-prinsip politik Islam. Alasan utamanya adalah karena hal itu tidak lebih dari sebuah bagian adminstratif belaka yang memungkinkan kita untuk mengadopsinya dari manapun selama mendatangkan mashlahat.[19] Maka tidak mengherankan jika salah satu ormas yang dianggap sebagai salah satu representasi faksi ini, Wahdah Islamiyah, mengeluarkan keputusan yang menginstruksikan anggotanya untuk ikut serta dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu-pemilu yang lalu.[20]
3. Sikap terhadap gerakan Islam yang lain.
Pandangan pendukung gerakan Salafi modern di Indonesia terhadap berbagai gerakan lain yang ada sepenuhnya merupakan imbas aksiomatis dari penerapan prinsip hajr al-mubtadi’ yang telah dijelaskan terdahulu. Baik Salafi Yamani maupun Haraki, sikap keduanya terhadap gerakan Islam lain sangat dipengaruhi oleh pandangan mereka dalam penerapan hajr al-mubtadi’. Sehingga tidak mengherankan dalam poin inipun mereka berbeda pandangan.
Jika Salafi Haraki cenderung ‘moderat’ dalam menyikapi gerakan lain, maka Salafi Yamani dikenal sangat ekstrim bahkan seringkali tanpa kompromi sama sekali. Fenomena sikap keras Salafi Yamani terhadap gerakan Islam lainnya dapat dilihat dalam beberapa contoh berikut:
a. Sikap terhadap Ikhwanul Muslimin
Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan Ikhwanul Muslimin nampaknya menjadi musuh utama di kalangan Salafi Yamani. Mereka bahkan seringkali memelesetkannya menjadi “Ikhwanul Muflisin”.[21] Tokoh-tokoh utama gerakan ini tidak pelak lagi menjadi sasaran utama kritik tajam yang bertubi-tubi dari kelompok ini. Di Saudi sendiri –yang menjadi asal gerakan ini-, fenomena ‘kebencian’ pada Ikhwanul Muslimin dapat dikatakan mencuat seiring bermulanya kisah Perang Teluk bagian pertama. Adalah DR. Rabi’ ibn Hadi al-Madkhali yang pertama kali menyusun berbagai buku yang secara spesifik menyerang Sayyid Quthb dan karya-karyanya. Salah satunya dalam buku yang diberi judul “Matha’in Sayyid Quthb fi Ashab al-Rasul” (Tikaman-tikaman Sayyid Quthub terhadap Para Sahabat Rasul).[22]
Sepengetahuan penulis, fenomena ini bisa dibilang baru mengingat pada masa-masa sebelumnya beberapa tokoh Ikhwan seperti Syekh Muhammad al-Ghazali dan DR. Yusuf al-Qaradhawi pernah menjadi anggota dewan pendiri Islamic University di Madinah, dan banyak tokoh Ikhwan lainnya yang diangkat menjadi dosen di berbagai universitas Saudi Arabia. Dalam berbagai penulisan ilmiah –termasuk itu tesis dan disertasi- pun karya-karya tokoh Ikhwan –termasuk Fi Zhilal al-Qur’an yang dikritik habis oleh DR. Rabi al-Madkhali- sering dijadikan rujukan. Bahkan Syekh Bin Baz –Mufti Saudi waktu itu- pernah mengirimkan surat kepada Presiden Mesir, Gamal Abdul Naser untuk mencabut keputusan hukuman mati terhadap Sayyid Quthb.[23]
Terkait dengan ini misalnya, Ja’far Umar Thalib misalnya menulis:
Di tempat Syekh Muqbil pula saya mendengar berita-berita penyimpangan tokoh-tokoh yang selama ini saya kenal sebagai da’i dan penulis yang menganu pemahaman salafus shalih. Tokoh-tokoh yang telah menyimpang itu ialah Muhammad Surur bin Zainal Abidin, Salman Al-Audah, Safar Al-Hawali, A’idl Al-Qarni, Nasir Al-Umar, Abdurrahman Abdul Khaliq. Penyimpangan mereka terletak pada semangat mereka untuk mengelu-elukan tokoh-tokoh yang telah mewariskan berbagai pemahaman sesat di kalangan ummat Islam, seperti Sayyid Qutub, Hasan Al-Banna, Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Rasyid Ridha dan lain-lainnya. [24]
Dan jauh sebelum itu, Ja’far Umar Thalib juga melontarkan celaan yang sangat keras terhadap DR. Yusuf al-Qaradhawy –salah seorang tokoh penting Ikhwanul Muslimin masa kini- dengan menyebutnya sebagai ‘aduwullah (musuh Allah) dan Yusuf al-Qurazhi (penisbatan kepada salah satu kabilah Yahudi di Madinah, Bani Quraizhah). Meskipun kemudian ia dikritik oleh gurunya sendiri, Syekh Muqbil di Yaman, yang kemudian mengganti celaan itu dengan mengatakan: Yusuf al-Qaradha (Yusuf Sang penggunting syariat Islam).[25] Di Indonesia sendiri, sikap ini berimbas kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dianggap sebagai representasi Ikhwanul Muslimin di Indonesia.
Secara umum, ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyimpangan oleh kalangan Salafi Yamani dalam tubuh Ikhwanul Muslimin, diantaranya:
- Bai’at yang dianggap seperti bai’at sufiyah dan kemiliteran.[26]
- Adanya marhalah (fase-fase) dalam dakwah yang menyerupai prinsip aliran Bathiniyah.[27]
- Organisasi kepartaian (tanzhim hizb).[28]
Berbeda dengan yang disebut Salafi Haraki, mereka cenderung kooperatif dalam melihat gerakan-gerakan Islam yang ada dalam bingkai “nata’awan fima ittafaqna ‘alaih, wa natanashahu fima ikhtalafna fihi.”[29] Karena itu, faksi ini cenderung lebih mudah memahami bahkan berinteraksi dengan kelompok lain, termasuk misalnya Ikhwanul Muslimin. Meskipun untuk itu kelompok inipun harus rela diberi cap “Sururi” oleh kelompok Salafi Yamani. Yayasan Al-Sofwa, misalnya, masih mengakomodir kaset-kaset ceramah beberapa tokoh PKS seperti DR.Ahzami Sami’un Jazuli.[30]
b. Sikap terhadap Sururiyah
Secara umum, Sururi atau Sururiyah adalah label yang disematkan kalangan Salafi Yamani terhadap Salafi Haraki yang dianggap ‘mencampur-adukkan’ berbagai manhaj gerakan Islam dengan manhaj salaf. Kata Sururiyah sendiri adalah penisbatan kepada Muhammad Surur bin Zainal Abidin. Tokoh ini dianggap sebagai pelopor paham yang mengadopsi dan menggabungkan ajaran Salafi dengan Ikhwanul Muslimin. Disamping Muhammad Surur, nama-nama lain yang sering dimasukkan dalam kelompok ini adalah DR. Safar ibn ‘Abdirrahman al-Hawali, DR. Salman ibn Fahd Al-‘Audah –keduanya di Saudi- dan Abdurrahman Abdul Khaliq dari Jam’iyyah Ihya’ al-Turats di Kuwait.
Dalam sebuah tulisan berjudul Membongkar Pikiran Hasan Al-Banna-Sururiyah (III) diuraikan secara rinci pengertian Sururiyah itu:[31]
“Ada sekelompok orang yang mengikuti kaidah salaf dalam perkara Asma dan Sifat Allah, iman dan taqdir. Tapi, ada salah satu prinsip mereka yang sangat fatal yaitu mengkafirkan kaum muslimin. Mereka terpengaruh oleh prinsip Ikhwanul Muslimin. Pelopor aliran ini bernama Muhammad bin Surur.
Muhammad bin Surur yang lahir di Suriah dahulunya adalah Ikhwanul Muslimin. Kemudian ia menyempal dari jamaah sesat ini dan membangun gerakannya sendiri berdasarkan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthub (misalnya masalah demonstrasi, kudeta dan yang sejenisnya)...”[32]
Tulisan yang sama juga menyimpulkan beberapa sisi persamaan antara Sururiyah dengan Ikhwanul Muslimin, yaitu:
- Keduanya sama-sama mengkafirkan golongan lain dan pemerintah muslim.
- Keduanya satu ide dalam masalah demonstrasi, mobilisasi dan selebaran-selebaran.
- Keduanya sama dalam masalah pembinaan revolusi dalam rangka kudeta.
- Keduanya sama dalam hal tanzhim dan sistem kepemimpinan yang mengerucut (piramida).
- Keduanya sama-sama tenggelam dalam politik.[33]
Hanya saja banyak ‘tuduhan’ sebenarnya terlalu tergesa-gesa untuk tidak mengatakan membabi buta. Ada yang tidak mempunyai bukti akurat, atau termasuk persoalan yang sebenarnya termasuk kategori ijtihad dan tidak bisa disebut sebagai kesesatan (baca: bid’ah).

4. Sikap terhadap pemerintah
Secara umum, sebagaimana pemerintah yang umum diyakini Ahl al-Sunnah –yaitu ketidakbolehan khuruj atau melakukan gerakan separatisme dalam sebuah pemerintahan Islam yang sah-, Gerakan Salafi juga meyakini hal ini. Itulah sebabnya, setiap tindakan atau upaya yang dianggap ingin menggoyang pemerintahan yang sah dengan mudah diberi cap Khawarij, bughat atau yang semacamnya.[34]
Dalam tulisannya yang bertajuk “Membongkar Pemikiran Sang Begawan Teroris (I), Abu Hamzah Yusuf misalnya menulis:
“Tokoh-tokoh yang disebutkan Imam Samudra di atas (maksudnya: Salman al-Audah, Safar al-Hawali dan lain-lain –pen) tidaklah berjalan di atas manhaj Salaf. Bahkan perjalanan hidup mereka dipenuhi catatan hitam yang menunjukkan mereka jauh dari manhaj Salaf...
Tak ada hubungan antara tokoh-tokoh itu dengan para ulama Ahlus Sunnah. Bahkan semua orang tahu bahwa antara mereka berbeda dalam hal manhaj (metodologi). Tokoh-tokoh itu berideologikan Quthbiyyah, Sururiyah, dan Kharijiyah...”[35]
Dalam “Mereka Adalah Teroris” juga misalnya disebutkan:
“...Kemudian dilanjutkan tongkat estafet ini oleh para ruwaibidhah (sebutan lain untuk Khawarij -pen) masa kini semacam Dr. Safar Al-Hawali, Salman Al-Audah dan sang jagoan konyol Usamah bin Laden. Sementara Imam Samudra hanyalah salah satu bagian kecil saja dari sindikat terorisme yang ada di Indonesia. Kami katakan ini karena di atas Imam Samudra masih ada tokoh-tokoh khawarij Indonesia yang lebih senior seperti: Abdullah Sungkar alias Ustadz Abdul Halim, Abu Bakar Ba’asyir alias Ustadz Abdush Shamad.”[36]

Pernyataan ini disebabkan karena tokoh-tokoh yang dimaksud dikenal sebagai orang-orang yang gigih melontarkan kritik ‘pedas’ terhadap pemerintah Kerajaan Saudi Arabia terutama dalam kasus penempatan pangkalan militer AS di sana. Sementara dua nama terakhir dikenal sebagai orang-orang yang gigih memformalisasikan syariat Islam di Indonesia.
Sebagai konsekwensi dari prinsip ini, maka muncul kesan bahwa kaum Salafi cenderung ‘enggan’ melontarkan kritik terhadap pemerintah. Meskipun sesungguhnya manhaj al-Salaf sendiri memberikan peluang untuk itu meskipun dibatasi secara “empat mata” dengan sang penguasa.
Namun pada prakteknya kemudian, ternyata prinsip inipun sedikit banyak telah dilanggar oleh mereka sendiri. Abu ‘Abdirrahman al-Thalibi misalnya –yang menulis kritik tajam terhadap gerakan ini- menyebutkan salah satu penyimpangan Salafi Yamani: “Sikap Melawan Pemerintah”. Ia menulis:
“Dalam beberapa kasus, jelas-jelas Salafy Yamani telah melawan pemerintah yang diakui secara konsensus oleh Ummat Islam Indonesia, khususnya melalui tindakan-tindakan Laskar Jihad di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Tanggal 6 April 2000, mereka mengadakan tabligh akbar di Senayan, tak lama kemudian mereka berdemo di sekitar Istana Negara dimana Abdurrahman Wahid sedang berada di dalamnya. Kenyataan yang sangat mengherankan, mereka bergerak secara massal dengan membawa senjata-senjata tajam. Belum pernah Istana Negara RI didemo oleh orang-orang bersenjata, kecuali dalam peristiwa di atas. Masih bisa dimaklumi, meskipun melanggar hukum, jika yang melakukannya adalah anggota partai komunis yang dikenal menghalalkan kekerasan, tetapi perbuatan itu justru dilakukan oleh para pemuda yang mewarisi manhaj Salafus Shalih. Masya Allah, Salafus Shalih mana yang mereka maksudkan?”[37]
Hal lain lagi adalah bahwa hingga kini mereka masih saja melancarkan kritik yang pedas terhadap Partai Keadilan Sejahtera –yang dianggap sebagai bagian dari Ikhwanul Muslimin di Indonesia-. Namun kenyataannya sekarang bahwa Partai ini telah menjadi bagian dari pemerintahan Indonesia yang sah. Beberapa anggota mereka duduk sebagai anggota parlemen, ada yang menjadi menteri dalam kabinet, bahkan mantan ketuanya, Hidayat Nur Wahid saat ini menjabat sebagai Ketua MPR-RI. Bukankah berdasarkan kaidah yang selama ini mereka gunakan, kritik pedas mereka terhadap PKS dapat dikategorikan sebagai tindakan khuruj atas pemerintah?
“Ja’far Umar Thalib Telah Meninggalkan Kita...”
Kalimat mungkin dapat dijadikan sebagai bukti fase baru perkembangan gerakan Salafi di Indonesia. Setelah sebelumnya dijelaskan bahwa dalam perjalanannya gerakan ini terbagi menjadi setidaknya 2 faksi: Yamani dan haraki, maka setidaknya sejak dewan eksekutif FKAWJ membubarkan FKAWJ dan Laskar Jihad pada pertengahan Oktober 2002, ada hembusan angin perubahan yang sangat signifikan di tubuh gerakan ini. Salafi Yamani ternyata kemudian berpecah menjadi 2 kelompok: yang pro Ja’far dan yang kontra terhadapnya.
Ja’far Umar Thalib sejak saat itu dapat dikatakan menjadi ‘bulan-bulanan’ kelompok eks Laskar Jihad yang kontra dengannya. Apalagi setelah DR.Rabi’ al-Madkhali –ulama yang dulu sering ia jadikan rujukan fatwa- justru mengeluarkan tahdzir terhadapnya. Pesantrennya di Yogyakarta pun mulai ditinggalkan oleh mereka yang dulu menjadi murid-muridnya.
Uniknya, kelompok yang kontra terhadapnya justru ‘dipimpin’ oleh Muhammad Umar As-Sewed, orang yang dulu menjadi tangan kanannya (wakil panglima) saat menjadi panglima Laskar Jihad. Ja’far Thalib-pun mulai dekat dengan orang-orang yang dulu dianggap tidak mungkin bersamanya. Arifin Ilham ‘Majlis Az-Zikra’ dan Hamzah Haz, contohnya.
Karena itu, Qomar ZA –redaktur majalah Asy-Syariah yang dulu adalah murid Ja’far Umar Thalib- menulis artikel pendek berjudul “Ja’far Umar Thalib Telah Meninggalkan Kita...”.[38] Di sana antara lain ia menulis:
“Adapun sekarang betapa jauh keadaannya dari yang dulu (Ja’far Umar Thalib, red). Jangankan majlis yang engkau tidak mau menghadirinya saat itu, bahkan sekarang majlis dzikirnya Arifin Ilham kamu hadiri, mejlis Refleksi Satu Hati dengan para pendeta dan biksu kamu hadiri (di UGM, red), majlis dalam peresmian pesantren Tawwabin yang diprakarsai oleh Habib Riziq Syihab, Abu Bakar Baa’syir Majelis Mujahidin Indonesia dan lain-lain. Kamu hadiri juga peringatan Isra’ Mi’raj sebagaimana dinukil dalam majalah Sabili dan banyak lagi...
Apakah gurumu yang sampai saat ini kamu suka menebeng di belakangnya yaitu Syekh Muqbil, semoga Allah merahmatinya, akan tetap memujimu dengan keadaanmu yang semacam ini??...
Asy-Syaikh Rabi’ berkata: “...Dan saya katakan: Dialah yang meninggalkan kalian dan meninggalkan manhaj ini (manhaj Ahlus Sunnah)...”
Ja’far sendiri belakangan nampak menyadari sikap kerasnya yang berlebihan di masa awal dakwahnya. Dan nampaknya, apa yang ia lakukan belakangan ini –meski menyebabkannya menjadi sasaran kritik bekas pendukungnya- adalah sebuah upayanya untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Dalam artikelnya, “Saya Merindukan Ukhuwwah Imaniyah Islamiyah” , ia menulis pengakuan itu dengan mengatakan:
“...Saya lupa dengan keadaan yang sesungguhnya mayoritas ummat di Indonesia yang tingkat pemahamannya amat rendah tentang Islam. Saya saat itu menganggap tingkat pemahaman ummatku sama dengan tingkat pemahaman murid-muridku. Akibatnya ketika saya menyikapi penyelewengan ummat dari As-Sunnah, saya anggap sama dengan penyelewengan orang-orang yang ada di sekitarku yang selalu saya ajari ilmu. Tentu anggapan ini adalah anggapan yang dhalim. Dengan anggapan inilah saya akhirnya saya ajarkan sikap keras dan tegas terhadap ummat yang menyimpang dari As-Sunnah walaupun mereka belum mendapat penyampaian ilmu Sunnah. Sayapun sempat menganggap bahwa mayoritas kaum muslimin adalah Ahlul Bid’ah dan harus disikapi sebagai Ahlul Bid’ah. Maka tampaklah Dakwah Salafiyyah yang saya perjuangkan menjadi terkucil, kaku dan keras. Saya telah salah paham dengan apa yang saya pelajari dari kitab-kitab para Ulama’ tersebut di atas tentang sikap Ahlul Bid’ah. Saya sangka Ahlul Bid’ah itu ialah semua orang yang menjalankan bid’ah secara mutlak.”[39]
Penutup
Demikianlah paparan singkat tentang gerakan Salafi modern di Indonesia. Sudah tentu masih banyak sisi gerakan ini yang belum tertuang dalam tulisan ini. Dan di bagian akhir tulisan ini, ada beberapa catatan kritis yang perlu penulis kemukakan atas gerakan ini:
1. Diperlukan kajian yang komperhensif tentang sejarah masa lalu ummat Islam, dan termasuk didalamnya sejarah generasi As-Salaf Ash-Shalih yang menjadi panutan semua gerakan Islam –tentu saja dengan kadar yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain-. Dan khusus untuk pendukung gerakan Salafi ini, ada banyak sisi kehidupan As-Salaf yang mungkin terlupakan; seperti: kesantunan dan kearifan dalam menyikapi perbedaan yang masih mungkin untuk ditolerir, serta bersikap proporsional dan adil dalam menyikapi kesalahan atau kekeliruan pihak lain.
2. Salah satu kesalahan utama pendukung gerakan ini –khususnya Salafi Yamani- adalah ketidaktepatan dalam menyimpulkan apakah sesuatu itu dapat dikategorikan sebagai manhaj baku kalangan As-Salaf atau bukan. Dalam kasus di lapangan, seringkali karakter pribadi seorang ulama dianggap sebagai bagian dari manhaj Salafi. Padahal kita semua memahami bahwa setiap orang memiliki tabiat dasar yang nyaris berbeda. Jika Abu Bakr dikenal dengan kelembutannya, maka Umar dikenal dengan ketegasannya. Berbeda lagi dengan Abu Dzar yang keteguhan prinsipnya membuat dia lebih cocok hidup sendiri daripada terlalu banyak melakukan interaksi sosial.
Dalam kasus Salafi misalnya, sebagian pendukungnya banyak mengadopsi karakter Syekh Rabi atau Syekh Muqbil misalnya, yang memang dikenal dengan karakter pribadi yang keras. Padahal masih banyak ulama rujukan mereka yang cenderung lebih toleran dan elegan.
Akhirnya, memang tidak ada gading yang tak retak. Setiap anak Adam itu berpotensi melakukan kesalahan, namun sebaik-baik orang yang selalu terjatuh dalam kesalahan adalah yang selalu bertaubat dan menyadari kesalahannya, kata Nabi saw. Setiap gerakan sudah tentu memiliki sisi positif dan negatif. Yang terbaik pada akhirnya adalah yang mampu meminimalisir sisi negatifnya dan semakin hari memiliki perubahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Wallahul muwaqqiq!
Cipinang Muara, pertengahan Mei 2006
DAFTAR PUSTAKA
1. Beberapa Kerusakan Pemilu. Muhammad Umar As-Sewed. Majalah SALAFY. Edisi XXX. Tahun 1999H.
2. Daftar Ustadz yang Terpercaya. www.freelists.org/archives/Salafi/12-2003/msg00017.html
3. Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak, Meluruskan Sikap Keras Dai Salafi. Abu Abdirrahman Al-Thalibi. Hujjah Press. Jakarta. Cetakan kedua. Maret 2006.
4. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Penyunting: Jamhari dan Jajang Jahroni. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Cetakan pertama. 2004.
5. Hajr al-Mubtadi’. Bakr ibn ‘Abdillah Abu Zaid. Dar Ibn al-Jauzi. Dammam. Cetakan kedua. 1417H.
6. Indonesia Bacgrounder: Why Salafism and Terrorism Mostly Don’t Mix. International Crisis Group. Asia Report no.83.13 September 2004.
7. Ja’far Umar Thalib: Sang Ustadz yang Penuh Warna. www.tempointeraktive.com.
8. Ja’far Umar Thalib Telah Meninggalkan Kita. Qomar ZA. Lc. www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=664.
9. Al-Khithab al-Dzahaby. Bakr ibn ‘Abdillah Abu Zaid. Maktabah al-Sunnah. Kairo. Cetakan pertama. 1418H.
10. Lisan al-‘Arab. Abu al-Fadhl Muhammad ibn Manzhur. Dar Shadir. Beirut. Cetakan pertama. 1410H.
11. Madarik al-Nazhar fi al-Siyasah baina al-Tathbiqat al-Syar’iyyah wa al-Infi’alat al-Hamasiyah. ‘Abd al-Malik ibn Ahmad Ramadhany al-Jaza’iry. Dar Sabil al-Mu’minin. Dammam. Cetakan kedua. 1418H.
12. Membongkar Pikiran Hasan al-Banna-Ikhwanul Muslimin (II). www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=336.
13. Membongkar Pikiran Hasan al-Banna-Sururiyah (III). www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=338.
14. Mereka Adalah Teroris. Luqman bin Muhammad Ba’abduh.
15. Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah. DR. ‘Abdullah ibn Ibrahim al-Thuraiqy. www.islamtoday.net/print.cfm?artid=2869 dan www.islamtoday.net/print.cfm?artid=2896.
16. Pasang Surut Menegakkan Syariah Islamiyah. Ja’far Umar Thalib. Majalah SALAFY. Edisi 40. Tahun 1422/2001.
17. Penjelasan Dewan Syari’ah Wahdah Islamiyah tentang Pemilihan Umum. www.wahdah.or.id.
18. Persaksian Tentang Yayasan Al-Sofwa. Muhammad Umar As-Sewed. www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=557.
19. Saya Merindukan Ukhuwah Imaniyah Islamiyah. Ja’far Umar Thalib. Majalah SALAFY. Edisi 5. Tahun 1426/2005.


[1] Lih. Majalah SALAFY, edisi 5 Tahun 2005, hal. 13.
[2] Lih. Lisan al-Arab, entri Sa-La-Fa.
[3] Lih. Madarik al-Nazhar, hal. 30, Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak, hal. 8
[4] Ibid.
[5] Dari kata ini kita kemudian sering mendengarkan kata bentukan lainnya seperti Salafiyah (yang berarti ajaran atau paham kesalafan) atau Salafiyun/Salafiyin yang merupakan bentuk plural dari Salafi.
[6] Lih. Dakwah Salafiyah, hal. 10 dan hal.30-31.
[7] Pasang Surut Menegakkan Syari’ah Islamiyah, majalah SALAFY, hal. 2-12, edisi 40 tahun 1422/2001. Seputar masalah ini juga dapat dilihat dalam Laporan International Crisis Group bertajuk “Indonesia Backgrounder: Why Salafism and Terrorism Mostly Don’t Mix”, Asia Report no.83, 13 September 2004, hal. 5-6.
[8] Majalah SALAFY, hal. 3 (Edisi 5, Tahun 2005).
[9] Lih. Ja’far Umar Thalib: Sang Ustadz yang Penuh Warna, http://www.tempointeraktive.com
[10] Lih. Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak, hal.13
[11] Yang pro dalam hal ini misalnya adalah Hai’ah Kibar al-‘Ulama (Dewan Ulama Besar) di sana yang saat itu diketuai oleh Syekh Abd al-Aziz ibn Baz.
[12] Yang kontra dalam hal ini misalnya adalah Syekh Hamud al-‘Uqla (seorang ulama senior yang selevel dengan ‘Abd al-Aziz ibn Baz), Safar ibn ‘Abd al-Rahman al-Hawali, Salman ibn Fahd al-‘Audah, dan ‘Aidh ibn ‘Abdillah al-Qarni. Tiga nama terakhir kemudian sempat di penjara, namun setelah lepasnya dari penjara ketiganya kemudian menjadi tokoh yang sering dijadikan rujukan pendapat oleh Pemerintah Saudi terutama dalam upaya meredam radikalisme alumni jihad Afghan.
[13] Informasi ini penulis dengarkan dari beberapa dosen Islamic University of Madinah, seperti DR. Shalih al-Fa’iz dan DR. Rusyud al-Rusyud.
[14] Lih. Dakwah Salafiyah, hal. 20
[15] Lih. Pembahasan lengkap tentang masalah ini dalam Hajr al-Mubtadi’, karya DR. Bakr ibn Abdillah Abu Zaid.
[16] Lih. Daftar Ustadz yang Terpercaya.
[17] Lih. Hajr al-Mubtadi’, hal.19.
[18] Lih. Beberapa Kerusakan Pemilu,Muhammad Umar As-Sewed, Majalah SALAFY, edisi XXX, hal. 8-15. Lihat juga wawancara dengan Eko Rahardjo, ketua divisi penerangan FKAWJ tanggal 10 Agustus 2004 dalam Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, hal. 121.
[19] Lih. Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah, DR. ‘Abdullah ibn Ibrahim al-Thuraiqy, www.islamtoday.net/print.cfm?artid=2869 dan www.islamtoday.net/print.cfm?artid=2896 . Dalam tulisan yang sama, ia menawarkan sebuah sistem pemilu Islam yang mengadopsi konsep Ahl al-Hill wa-‘Aqd yang hanya melibatkan ‘orang-orang pilihan’ dan bukan seluruh rakyat di sebuah tempat.
[20] Lih. Penjelasan Dewan Syariah Wahdah Islamiyah tentang Pemilihan Umum, www.wahdah.or.id.
[21] Lih. Kesaksian Tentang Yayasan Al-Sofwa, hal.2, www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=557.
[22] Buku ini diterbitkan oleh Maktabah al-Ghuraba’ di Madinah.
[23] Lih. Al-Khithab al-Dzahaby, karya DR.Bakr ibn Abdillah Abu Zaid. Buku kecil ini pada mulanya adalah surat balasan Syekh Bakr untuk DR.Rabi’ yang memintanya memberi pengantar atas bukunya yang mengkritik Sayyid Quthb secara tidak proporsional. Permintaan itu justru ditolak dan dijawab dengan surat ini. DR.Bakr Abu Zaid adalah anggota Dewan Ulama Besar Saudi yang saat ini menjabat sebagai Ketua Konfrensi Fikih Internasional Rabithah Alam Islami di Mekkah.
[24] Saya Merindukan Ukhuwwah Imaniyah Islamiyah, majalah SALAFY hal.6, edisi 5 tahun ke 5.
[25] Lih. Majalah SALAFY edisi 3 tahun 1416, juga Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak hal. 34.
[26] Lih. Membongkar Pikiran Hasan al-Banna-Ikhwanul Muslimin (II), hal.3
[27] Ibid., hal.6
[28] Ibid., hal.8
[29] Uniknya prinsip ini justru diucapkan oleh Syekh Nashiruddin al-Albani dengan mengadopsi dan melakukan sedikit koreksi redaksional atas prinsip Ikhwanul Muslimin: “Nata’wanu fima ittafaqna alaih wa na’dzuru ba’dhuna ba’dhan fima ikhtalafna fihi.”
[30] Lih. Persaksian tentang Yayasan Al Sofwa, www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=557.
[31] Lih. www.freelists.or/archives/salafy/11-2003/msg00034.html.
[32] www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=338 .
[33] Ibid., hal. 2
[34] Lih. Mereka Adalah Teroris, hal.664-702. Buku setebal 720 halaman ini ditulis oleh Luqman Ba’abduh –salah seorang murid Syekh Muqbil ibn Hadi al-Wadi’i di Indonesia- untuk membantah buku yang ditulis Imam Samudra, Aku Melawan Teroris.
[35] Membongkar Pemikiran Sang Begawan Teroris (I), www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=878.
[36] Mereka Adalah Teroris, hal.59
[37] Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak, hal.69
[38] Lih. www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=664.
[39] Majalah SALAFY, edisi 5 tahun ke 5, hal. 9-10.


Makalah-Globalisasi dan Krisis Identitas Muslim

ISLAM DAN GLOBALISASI;

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP
KRISIS IDENTITAS MUSLIM
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Wacana Islam dan Isu Kontemporer










Oleh:
Muh. Ikhsan
7105090722




Dosen:
DR. Bahtiar Effendy, MA
UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM
KEKHUSUSAN KAJIAN ISLAM
JAKARTA
2006

ISLAM DAN GLOBALISASI;
PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP
KRISIS IDENTITAS MUSLIM
Muh. Ikhsan
Sebagai umat Islam, kita bersifat terbuka kepada Barat sesuai dengan anjuran agama. Hal yang mendorong kita untuk memiliki sifat itu adalah: (1) Kita adalah pemilik risalah ‘alamiyah (global) yang datang untuk seluruh manusia di seluruh penjuru dunia. Benar bahwa Kitab suci kita berbahasa Arab, Rasul kita seorang Arab, dan Islam tumbuh di dunia Timur (Arab). Tetapi ini bukan berarti bahwa Islam ditujukan hanya untuk bangsa tertentu, melainkan untuk segenap penduduk bumi. Agama masehi sendiri tumbuh di dunia Timur, lalu tersebar di penjuru dunia. (2) Jalan untuk menuju saling pengertian dan berdekatan cukup banyak. (Salah satunya adalah ta’aruf). Jadi ta’aruf –bukan saling bermusuhan- merupakan kewajiban semua penduduk bumi. Kita tidak sependapat dengan seorang sastrawan Barat yang mengatakan, ‘Timur adalah Timur, dan Barat adalah Barat. Keduanya tidak mungkin bertemu.’ Keduanya justru bisa bertemu, dan bahkan wajib untuk bertemu bila niatnya benar. (3) Dunia yang semakin dekat ini mengharuskan penganut agama-agama samawi dan pemilik tiap peradaban untuk bertemu, berdialog dan saling memahami. Dan tentu saja dialog semacam itu lebih baik daripada pemusuhan.
Yusuf al-Qaradhawi[1]
Globalisasi sebagai sebuah fenomena mulai menampakkan dirinya pada sekitar tahun delapanpuluhan abad ini. Dan pemunculan itu setidaknya sangat berkiatan erat dengan 3 peristiwa besar yang masing-masing mewakili ranah politik, teknologi dan ekonomi. Ketiga peristiwa itu adalah:
1. Ranah politik: berupa berakhirnya perang dingin antara Timur –yang dalam hal ini diwakili oleh Uni Soviet- dan Barat –yang dalam hal ini diwakili oleh Amerika-. Tentu saja dengan “kekalahan” di pihak Uni Soviet yang belakangan harus rela membiarkan wilayahnya tercabik dan melepaskan diri satu persatu.
2. Ranah teknologi: yang mewujud dalam revolusi informasi, dimana dunia menyaksikan ledakan yang luar biasa dalam bidang telekomunikasi dan arus perpindahan informasi yang tak terkendali dari satu tempat ke tempat yang lain.
3. Ranah ekonomi: berupa lahirnya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 1995 yang kemudian menjadi bibit persemaian awal ide pasar dan perdagangan bebas di antara semua negara.[2]
Satu hal unik yang patut dicatat adalah bahwa globalisasi belum pernah terjadi atau ditemukan pada abad-abad sebelumnya, meskipun beberapa negara atau bangsa memiliki kekuasaan penuh (baca: menjajah) bangsa lainnya secara militer dan ekonomi. Meskipun Romawi pernah menguasai hampir semua wilayah Eropa misalnya, namun kekuasaan itu kemudian tidak melahirkan fenomena globalisasi ini.
Demikian pula jika kita menariknya jauh ke belakang di saat bangsa Eropa menggalakkan ekspedisi pencarian wilayah baru di kawasan timur bumi, sejarah tidak pernah mencatat adanya fenomena baru yang disebut globalisasi ini, meskipun sebagian negara Eropa itu berhasil menanamkan kekuatan dan kekuasaannya di berbagai wilayah timur dunia. Namun di zaman kiwari ini, di saat kita –setidaknya secara kasat mata- tidak lagi melihat bentuk-bentuk imperialisme klasik atas bangsa lain, gelombang globalisasi dengan dukungan perkembangan telekomunikasi dan transportasi yang berkembang nyaris setiap detik, justru menjelma menjadi fenomena yang tak mungkin lagi terbendung. Kita nampaknya tidak mempunyai pilihan lain selain turut serta menjadi “pemain” dalam arusnya yang sangat kuat. Tinggal kemudian kita yang menentukan: apakah kita sekedar menjadi “pemain” yang pasrah mengikuti ke mana saja ia mengalir, atau justru menjadi “pemain” yang lihai memanfaatkan arusnya untuk mewujudkan cita-cita keislaman kita.
Tulisan ini pada intinya ingin menyampaikan gagasan seputar bagaimana seharusnya seorang muslim dapat tetap berdiri kukuh menggenggam identitasnya, sembari terus memanfaatkan kekuatan arus globalisasi tersebut untuk kepentingan Islam yang ia yakini. Karena itu, uraian kajian ini akan mengulas poin-poin berikut ini:
1. Apa itu globalisasi?
2. Kegelisahan bangsa-bangsa dunia akan krisis identitas mereka akibat globalisasi. (Dampak negatif globalisasi terhadap identitas bangsa-bangsa dunia)
3. Bagaimana menyelesaikan dampak negatif globalisasi terhadap identitas muslim.
4. Bagaimana memanfaatkan globalisasi sebagai jalan untuk memperteguh identitas muslim.
Apa Itu Globalisasi?
Meskipun globalisasi telah menjadi fenomena yang diakui keberwujudannya oleh semua kalangan, namun tetap saja terjadi perbedaan pandangan saat kita akan menjelaskan batasannya yang sebenarnya. Para cendekiawan yang mengurai masalah ini setidaknya terbagi menjadi beberapa “madzhab” ketika memberikan definisi terhadap globalisasi, antara lain:
Pertama, adalah yang menitikberatkan fenomena globalisasi pada bidang ekonomi. DR. Sa’ad al-Bazi’i misalnya menyebutkan:
Globalisasi adalah penjajahan dalam pakaiannya yang baru. Sebuah pakaian yang dibentuk oleh kepentingan-kepentingan ekonomi dan membawa nilai-nilai yang mendukung tersebar dan mengakarnya kepentingan-kepentingan itu. Ia adalah penjajahan tanpa dominasi politik secara langsung atau iring-iringan militer yang kasat mata. Secara sederhana, ia adalah upaya yang didorong oleh hasrat berkuasa manusia atas ekonomi dan pasar lokal, lalu mengikatnya dengan sistem yang lebih besar untuk kemudian mendapatkan sebanyak mungkin konsumen. Dan jika upaya pencarian pasar dan usaha untuk memasarkan (produk) adalah merupakan tuntutan manusiawi yang telah ada sejak dulu hingga sekarang, bahkan disyariatkan, akan tetapi apa yang terjadi di sini (dalam globalisasi –pen) tidak sama dengan itu. Sebab (globalisasi) adalah upaya untuk melakukan persaingan yang tidak berimbang –bahkan boleh jadi tidak terhormat- dari satu sisi, dan dari sisi lain ia adalah upaya untuk melemahkan apapun yang menghalangi jalannya; baik itu berupa nilai ataupun upaya ekonomi dan pemikiran.[3]
Penjelasan ini dengan sangat jelas memandang bahwa inti dari globalisasi sepenuhnya berputar pada satu titik utama, yaitu kepentingan ekonomi pihak yang menggerakkan globalisasi itu. Tindakan apapun yang lahir kemudian, meskipun tidak memiliki aroma ekonomi yang kental, sesungguhnya adalah alat untuk menyukseskan kepentingan utama tersebut. Meskipun sebenarnya pengaitan globalisasi dengan ekonomi bisa melahirkan dua paradigma yang kontradiktif: paradigma optimistik dan pesimistik. Dengan paradigma optimistik kita bisa saja mengatakan bahwa globalisasi akan membuka sekat-sekat yang selama ini menghalangi banyak negara untuk memasarkan produknya atau mendapatkan produk-produk penunjang kemajuannya. Sementara dengan paradigma pesimistik, kita juga bisa mengatakan bahwa globalisasi hanya akan menambah jumlah kemiskinan dan menguntungkan korporasi-korporasi besar, yang mengakibatkan matinya usaha-usaha kecil.[4]
Kedua, yang mengaitkan globalisasi dengan sisi pemikiran dan ideologis. Suatu model yang disebut sebagai teologi global oleh John Hick, atau teologi dunia (world theology) oleh W.C. Smith.[5] DR. Muhammad ‘Abid al-Jabiry mengatakan:
Globalisasi berarti menafikan yang lain dan menjalankan ‘proses pemberangusan’ pemikiran (lain)...Ia juga berarti dominasi dan pengharusan menerapkan satu model konsumsi dan perilaku yang sama.[6]
Hal yang sama juga kemudian digambarkan secara lebih jelas oleh Muhammad Samir al-Munir yang menyatakan:
Barat ingin mewajibkan model, pemikiran, perilaku, nilai, gaya dan pola konsumsinya terhadap (bangsa) lain. Sedangkan orang-orang Prancis memandang bahwa globalisasi adalah wujud halus dari Amerikaisasi yang mewujud dalam tiga simbol: (1) kepemimpinan bahasa Inggris sebagai bahasa kemajuan dan globalisasi, (2) dominasi film-film Hollywood dengan ide-ide rendah namun fasilitas yang fantastik, dan (3) minuman Coca-cola, sepotong burger dan Kentucky-nya...[7]
Atau dalam bahasa ide yang sama, menurut Malcom Walter, bahwa globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah memasarkan ideologi Barat, dan bahkan membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya. Karena kenyataannya, -masih menurut Walter- gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan Barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, feminisme, liberalisme dan sekulerisme.[8]
Ketiga, ada yang memberikan batasan bahwa globalisasi tidak lebih dari sekedar sebuah fenomena “afiliasi yang bersifat internasional”, seperti batasan yang diberikan oleh DR. Shabri ‘Abdullah:
Bahwa globalisasi adalah fenomena dimana segala hal yang berhubungan dengan ekonomi, pemikiran, sosial dan perilaku bercampur serta berkelindan menjadi satu, hingga kemudian (hasil percampuran itu –pent) diafiliasikan kepada seluruh dunia melampaui batas-batas politis negara-negara.[9]
Sementara yang lain mencoba memberikan batasan yang lebih komperhensif dan integral terhadap globalisasi dengan menetapkan bahwa fenomena ini tidak sekedar mewakili salah satu dari poin-poin yang dititiktekankan oleh ketiga pandangan sebelumnya. Samir al-Tharablusi misalnya menguraikan batasan globalisasi dengan mengaitkannya –setidaknya- pada 3 hal:[10] ekonomi, politik, dan pemikiran. Ia menjelaskan bahwa globalisasi adalah sebuah pandangan strategis kekuatan kapitalisme internasional, khususnya Amerika Serikat, yang bertujuan untuk menata ulang dunia sesuai kepentingan dan ketamakannya. Dan dalam proses menuju itu, pandangan ini menempuh 3 jalan penting: (1) Ekonomi, dan tujuannya adalah menekan dunia untuk masuk dalam satu pasar kapitalisme yang diatur dengan satu sistem, dimana seluruh kekuatan kapitalisme (Tujuh negara industri, IMF, WTO, dan yang lainnya) dikerahkan untuk mengawasi dan membatasi geraknya. (2) Politik, dan tujuannya adalah membangun ulang tata politik negara-negara dunia dalam wujud yang terpecah-pecah dan membangun negara-negara baru yang memiliki kekuatan legitimasi yang rapuh oleh pertikaian internal; semuanya dengan tujuan memberangus hasrat perlawanan negara-negara dunia terhadap kapitalisme –yang memang tidak akan mencapai kestabilannya kecuali dengan keterpecahan itu. (3) Pemikiran, yang bertujuan mencerabut akar bangunan pemikiran dan peradaban bangsa-bangsa dunia, dengan tujuan menyapuratakan dunia dengan pemikiran yang mendukung kepentingan pasar global; seperti menggiring opini negara berkembang bahwa mereka tidak bisa melepaskan ketergantungan pada negara-negara maju.
Batasan terakhir ini mungkin menjadi penjelasan terutuh tentang globalisasi. Namun dari semua penjelasan itu, kita dapat menyimpulkan bahwa globalisasi adalah: “sebuah kata yang merangkum beberapa fenomena yang intinya adalah menjadikan dunia saling berdekatan melalui kemajuan yang dahsyat dalam sarana komunikasi, transportasi, satelit dan internet, keterbukaan arus informasi, yang (semuanya itu) disertai dengan kekuasaan satu kutub (dalam hal ini Amerika dengan pengaruh Zionisme) yang berusaha untuk menyatukan semua kekuatan ekonomi, politik (termasuk didalamnya militer) dan pemikiran untuk memenuhi kepentingannya.”
Dalam kajian ini, sebenarnya yang paling penting untuk digarisbawahi adalah pengaruh globalisasi terhadap pemikiran bangsa-bangsa dunia. Sebab inilah yang paling bersinggungan langsung dengan identitas mereka masing-masing. Ini pulalah yang kemudian memberikan pengaruh paling signifikan terhadap gegar identitas itu.
Kegelisahan Bangsa-bangsa Dunia Terhadap Krisis Identitas Akibat Globalisasi
Identitas adalah inti dan hakikat sesuatu. Bila ia dikaitkan dengan sebuah bangsa atau komunitas, maka ia adalah “karakter yang membedakannya dengan bangsa atau komunitas lain, yang sekaligus mengungkapkan kepribadian peradabannya.”[11] Dan sebuah identitas selalu mengumpulkan 3 hal: (1) Keyakinan ideologis, (2) bahasa untuk mengungkapkannya, dan (3) warisan budaya dan peradaban untuk jangka waktu yang panjang.[12] Dari ketiga unsur ini, keyakinan ideologis-lah unsur terpenting sebuah identitas. Dalam berbagai konflik antar manusia, ketika unsur-unsur identitas yang lain mulai memudar, maka biasanya unsur ideologis-lah yang kemudian menjadi “pelindung” akhir sebuah identitas.
Identitas sebuah bangsa atau komunitas tentu saja sangat penting. Berbagai kepentingan manusia sesungguhnya bertitik tolak dari hal ini. Akibatnya, mempertahankan dan menjaga identitas menjadi sebuah misi penting setiap bangsa atau komunitas. Mengapa negara-negara Uni Eropa menolak Turki untuk bergabung bersama mereka? Karena perbedaan identitas antara mereka dengan Turki. Eropa dengan sangat jelas menegaskan bahwa mereka tidak menghendakinya ada satupun negara muslim (baca: Turki) dalam persatuan Uni Eropa.[13] Dengan demikian, sebenarnya kekhawatiran akan terjadinya krisis identitas telah menjadi milik semua bangsa di dunia; suatu hal yang kemudian mendorong beberapa bangsa itu justru melakukan “agresi identitas” terhadap bangsa lain. Dan itu dilakukan dengan menunggangi globalisasi sebagai alat.
Maka tidak mengherankan jika sebelumnya ada yang menyebut globalisasi sebagai Amerikaisasi. Dan sangat disayangkan bahwa Amerika –kenyataannya- memang tidak sekedar bermaksud menanamkan nilai-nilainya saja, namun bertitik-tolak dari kepentingan-kepentingannya seringkali menerapkan standar-standar ganda dalam banyak kasus. Dan dengan cara seperti itu, ia telah menjelma menjadi sosok ancaman besar bagi bangsa lain, terutama Islam. Dan berikut ini hanyalah beberapa bukti akan hal itu:
Chechnya dilarang untuk memisahkan diri dari Rusia, sementara Timor-Timur justru dipaksa untuk memisahkan diri dari Indonesia dengan campur tangan Australia serta dukungan dari negara Barat. Begitu pula dengan negara-negara Baltik dan Georgia; mereka boleh saja berpisah dan merdeka dari Rusia, namun tidak untuk negara-negara bekas Uni Soviet yang muslim.
Globalisasi adalah ketika Anda boleh menyerang negara berdaulat manapun -meskipun tidak ada izin dari PBB- hanya karena dugaan adanya senjata pemusnah massal, sementara ada negara yang tidak jauh dari negara itu yang jelas-jelas memiliki senjata pemusnah massal dan menduduki tanah yang bukan miliknya dengan melanggar semua keputusan PBB. Sudah terlalu jelas, Amerika adalah pendukung Israel. Ia akan selalu menggunakan hak vetonya dari waktu ke waktu untuk mendukung pendudukannya di tanah Palestina. Amerika jugalah yang menyerang Irak dengan alasan-alasan kosong “senjata pemusnah massal” meski tanpa izin Dewan Keamanan PBB. Ia jugalah yang memindahkan tawanan-tawanan Afghanistan ke Guantanamo tanpa pengadilan yang transparan dan adil. Ia jugalah yang menakut-nakuti lembaga-lembaga donor Islam sebagai pendana gerakan terorisme, dan ia –Amerika- boleh saja membekukan rekening lembaga atau person manapun yang inginkan. Meski tanpa bukti yang jelas.
Gerakan-gerakan perlawanan Palestina adalah sekumpulan teroris, sementara “sang penjajah” tidak lebih dari orang-orang yang melakukan pembelaan diri. Gerakan-gerakan perlawanan Afghanistan terhadap invasi Amerika adalah teroris. Namun ketika gerakan yang sama melakukan perlawanan terhadap invasi Uni Soviet, ia menjadi gerakan yang legal bahkan mendapatkan dukungan kuat. Ini semua tidak lain menunjukkan adanya tolok ukur yang kacau di pihak Amerika.
Fenomena Huntington dengan Clash Civilication-nya juga patut dicermati. Teori yang diangkatnya tidak lebih dari sebuah ajakan untuk mengembalikan fanatisme terhadap peradaban Barat untuk kemudian memerangi yang lain, terutama Islam. Dalam bukunya, ia dari waktu ke waktu melontarkan provokasi untuk mewaspadai Islam, dan itu cukup berhasil menumbuhkan kekhawatiran yang tak terlukiskan di kalangan Barat, terutama Amerika. Isu “perang terhadap terorisme” adalah bukti tak terbantahkan atas keberhasilan itu.
Fakta lain yang harus diangkat adalah bahwa kegelisahan akan pola globalisasi ala Amerika ini tidak hanya milik umat Islam. Friedman misalnya menyatakan: “Kita sedang berada di hadapan berbagai perang politis dan peradaban yang ganas dan keji. Amerika Serikat adalah sebuah kekuatan yang gila, dan kita adalah kekuatan revolusioner yang berbahaya. Sebenarnya mereka-lah yang takut kepada kita.”[14] Pada tahun 2003, dari hasil sebuah jajak pendapat di Eropa disimpulkan bahwa Amerika kemudian Israel adalah ancaman terbesar terhadap perdamaian dunia.[15]
Beberapa studi juga mengungkapkan keluhan-keluhan negara-negara Timur non-muslim akan hal ini. Jepang dan Korea Selatan misalnya. Salah satu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh materi siaran televisi bagi kaum muda Korea Selatan menunjukkan bahwa materi itu sangat mempengaruhi nilai-nilai tradisi kekoreaan mereka. Akibatnya banyak pemudi Korea yang lebih memilih bebas dari ikatan keluarga dan moral. Mereka bahkan meyakini bahwa tidak menjadi soal jika melakukan hubungan seks di luar nikah, dan bahwa itu tidak lebih merupakan bagian dari kebebasan individu. Bahkan menjadi biasa saja bagi mereka untuk merendahkan ajaran Kong Hu Chu –yang menjadi sebagian rakyat Korea Selatan.
Di Filipina –yang notabene termasuk negara Asia paling “amerikanis”-, juga menyeruak kegelisahan akibat merasuknya nilai-nilai materialistik sebagai nilai terpenting di kalangan pelajar dan melunturnya apa yang disebut sebagai nilai-nilai budaya Filipina yang asli, seperti kelapangan dada, pengorbanan dan kebijaksanaan.[16]
Bahkan sebagian negara-negara Barat pun merasakan kecemasan yang tidak jauh berbeda dengan kecemasan-kecemasan di atas. Prancis misalnya, meskipun termasuk negara Barat-Kristen, namun diakibatkan perbedaan bahasa, ia kemudian menjadi negara yang paling mengeluhkan globalisasi pemikiran dan dominasi bahasa Inggris. Ini dianggap sebagai ancaman bagi identitas Prancis.
Sebuah studi di Australia –yang bisa disebut negara Kristen Barat paling serupa dengan Amerika dalam hal identitas- tetap saja menunjukkan kecemasan yang sama, terutama pengaruh materi siaran televisi Amerika terhadap anak-anak Australia. Tidak hanya itu, di Kanada bahkan kegelisahan itu diungkapkan oleh Menteri Kebudayaan, Sheila Coops. Ia mengkhawatirkan adanya dominasi budaya Amerika di sana. Ia mengatakan: “Menjadi hak anak-anak di Kanada untuk menikmati hikayat-hikayat nenek moyang mereka. Sangat tidak masuk akal dan tidak bisa diterima jika 60% program televisi Kanada merupakan barang impor, 70% musik kita adalah musik asing, dan 95% etika kita tidak berasal dari Kanada.”[17]
Contoh-contoh yang diangkat dari berbagai studi di dunia tersebut menunjukkan adanya kekhawatiran para pemikir dan budayawan di berbagai negara akan bergesernya identitas budaya dan kepribadian mereka oleh globalisasi Amerika. Pertanyaannya adalah apakah di saat yang sama, umat Islam tidak perlu merasakan kekhawatiran yang sama akan hal itu? Seharusnya kekhawatiran itu memang menjadi milik umat Islam, sebab pelaku-pelaku globalisasi belum pernah menyatakan “perang” sedahsyat pernyataan perang mereka terhadap Islam.
Hal lain yang patut diingat adalah bahwa pelaku-pelaku globalisasi itu terus berusaha membentuk ulang pemahaman-pemahaman dasar kaum muslimin tentang alam, manusia dan kehidupan, untuk kemudian diganti dengan pemahaman yang selama ini umum diyakini di Barat. Alam –dalam pandangan mereka- tidak diciptakan untuk menjadi sarana kemudahan hidup manusia. Alam bukanlah tempat pengujian siapa yang terbaik amalnya. Manusia tidak diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Kebalikan dari pemahaman-pemahaman semacam ini –yang merupakan pemahaman mendasar dalam Islam- bagi mereka tidak lebih dari sekumpulan khurafat yang tidak bisa diterima rasio.[18]
Jika kita beralih dari pemahaman ideologis –yang merupakan pijakan dasar sebuah identitas- kepada bahasa yang merupakan alat pengungkap dan penjelas dari pemahaman itu, maka kita akan melihat dengan nyata dominasi budaya Barat hari ini dapat terlihat dengan jelas dalam wujud bahasa. Survei di internet misalnya menunjukkan bahwa 88 % informasinya disampaikan dengan bahasa Inggris, 9 % dengan bahasa Jerman, 2 % dengan bahasa Prancis, dan 1 % sisanya terbagi ke dalam berbagai bahasa dunia.[19]
Pengaruh globalisasi terhadap perubahan identitas perilaku dan akhlak dapat dikatakan yang paling cepat terjadi dibandingkan dengan yang lainnya. Kampanye seputar seks bebas, kehidupan hedonistik, mode busana terbaru, dan lain sebagainya, telah terbukti sebagai isu yang paling cepat mendapatkan tanggapan, reaksi, dan penggemar.
Dan pertanyaan akhirnya –sekali lagi- adalah: tidak patutkah semua itu menggelisahkan identitas Islam di seluruh dunia?
Jalan Untuk Menghadapi Dampak Negatif Globalisme
Globalisasi sesungguhnya adalah fenomena yang mau tidak mau pasti terjadi. Ia merupakan konsekwensi dan kemestian logis dari kemajuan teknologi hubungan dan interaksi manusia yang tak kenal lelah untuk terus mencipta hal baru. Maka kemustahilan membunuh globalisasi sama saja dengan kemustahilan mematikan hasrat kreatifitas manusia. Tetapi penerimaan terhadap globalisasi tidak berarti kesediaan untuk larut dalam dampak negatif yang ditimbulkannya, terutama jika itu terkait dengan identitas kemusliman kita –sebagaimana yang menjadi bahasan kajian ini-. Berikut ini beberapa saran teoritis yang mungkin dapat menjadi jalan panjang untuk menghadapi berbagai dampak negatif globalisasi tersebut:
Pertama, melakukan upaya-upaya penguatan identitas muslim dengan unsurnya yang paling kuat: kembali kepada Islam. Segala upaya-upaya yang dapat melahirkan kebanggaan pada Islam seharusnya ditempuh. Sebab krisis identitas paling menemukan jalannya jika sejati identitas itu sendiri tidak mendapatkan tempat di hati di kalangan muslim sendiri.
Kedua, menampilkan sisi-sisi keindahan, keuniversalan, keadilan, dan peradaban Islam yang luhur bagi umat Islam sendiri, sebelum kemudian menyodorkannya kepada umat di luar Islam. Kesilauan pada identitas orang lain dan keraguan pada identitas sendiri selalu bermula dari ketidaktahuan atau ketidaksadaran akan keunggulan diri sendiri. Muhammad Quthb mengatakan:
Sesungguhnya jawaban hakiki terhadap “thaghut” masa kini yang bernama globalisasi ini adalah (dengan) menampilkan model (prototipe) yang benar yang seharusnya dijalankan oleh manusia, agar umat manusia percaya bahwa –di alam nyata- mereka dapat mencapai kemajuan di bidang teknologi, ekonomi, militer dan politik, dengan tetap mampu menjaga kemanusiaan dan kebersihannya, meninggalkan hal-hal rendah dan keji, serta menegakkan keadilan dan kebenaran.[20]
Dan yang tak kalah pentingnya adalah membuktikan kemampuan Islam dalam memberikan jawaban terhadap semua problematika yang dimunculkan oleh globalisasi.
Ketiga, menghadapi dampak positif globalisasi dengan upaya-upaya pendidikan, pencerahan pemikiran, peningkatan kualitas intelektual dan perang terhadap kebodohan.
Ketiga, memberikan jaminan kemerdekaan dan kebebasan pemikiran di tengah kaum muslimin. Sebab kemerdekaan dan kebebasan berpikir adalah upaya terpenting untuk membagi dan menumbuhkembangkan potensi dan kreatifitas individu muslim, yang pada akhirnya menjadi faktor mendasar bagi berkembangnya sumbangsih kaum muslimin untuk peradaban dunia. Hanya saja, kemerdekaan ini tidak bisa dipahami sebagai kebebasan membuka pintu untuk mengekspresikan apapun, dan tidak pula berarti penerimaan terhadap semua ide dan pemikiran. Kemerdekaan yang dimaksud di sini adalah kemerdekaan yang dibingkai dengan aturan-aturan syara’.
Keempat, harus ada upaya untuk memahami lebih jauh tentang globalisasi pemikiran. Upaya ini lebih ditujukan untuk mengetahui lebih jauh titik kekuatan dan kelemahan, sisi positif dan negatifnya melalui pandangan Islam yang terbuka. Di sini harus tercipta sebuah dialog antar peradaban. Dan poin penting lain yang harus dicatat adalah bahwa sikap kritis yang total terhadap peradaban Barat dalam studi ini harus didukung oleh kebebasan jiwa dari dominasi ide-ide Barat. Ide-ide Barat tidak boleh menjelma menjadi sesuatu yang mutlak. Ia harus diletakkan sebagai unsur yang sama dan sederajat dengan unsur-unsur dunia lainnya.
Kelima, menciptakan komitmen dengan media-media massa dan informasi untuk ikut serta memperkuat identitas keislaman umat. Tidak ada yang meragukan bahwa pergeseran identitas banyak dipengaruhi oleh siaran televisi, radio, media massa, dan –yang mengalami ledakan dahsyat dalam dasawarsa belakangan ini- internet. Upaya ini menuntut kreatifitas dan inovasi yang tinggi dari para pelaku media informasi dan komunikasi muslim untuk melahirkan program-program alternatif yang bermutu.
Penutup
Pada akhirnya, Islam dan umat Islam sesungguhnya dapat memanfaatkan globalisasi sebagai jalan efektif untuk memperteguh identitasnya. Bahkan sudah seharusnya demikian. Artinya pemanfaatan globalisasi dalam rangka meneguhkan –bahkan menyebarkan- identitas Islam dan umat Islam sesungguhnya telah sampai pada taraf kewajiban. Apalagi salah satu doktrin penting yang sering digaungkan oleh umat Islam sendiri adalah bahwa Islam adalah agama ‘alami.[21]
Pemanfaatan globalisasi tentu saja didasarkan pada pandangan objektif bahwa fenomena ini tidak sepenuhnya mengandung nilai-nilai negatif. Fenomena ini sebenarnya menyimpan sebuah kekuatan yang sangat dahsyat, yang dampak-dampaknya sepenuhnya bergantung pada “siapa dan bagaimana” ia dimanfaatkan. Senjata paling mematikan yang dimiliki oleh globalisasi adalah media informasi dan sarana telekomunikasi dengan segala variannya yang berkembang setiap hari. Dan seperti yang telah disinggung sebelumnya, hari ini kita menantikan kolaborasi cantik antara ulama, pemikir, ilmuwan ahli, budayawan, dan pelaku-pelaku globalisasi muslim untuk meracik secara tepat, untuk kemudian menyajikan jawaban positif Islam atas globalisasi.
Cipinang Muara, 17 Juni 2006